TUGAS
ACARA AGAMA HINDU III
TEMPAT SUCI
(SANGGAH/MERAJAN)
IHDN
DENPASAR
Dosen
Pengampu: Dra. Ni Wayan Sariani Binawati, M.Ag
KELOMPOK
II:
1. Luh
Putu Astini (10.1.1.1.1.3865)
2. Putu
Rika Perdiani (10.1.1.1.1.3869)
3. Putu
Sri Susanti (10.1.1.1.1.3875)
4. Luh
Widyaningsih (10.1.1.1.1.3881)
5. Kadek
Suseka Mahadewi (10.1.1.1.1.3886)
6. Ni
Kadek Budiantari (10.1.1.1.1.3895)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Suatu ciri utama kehidupan dalam
ber-Agama Hindu adalah percaya dan bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa. Hal ini disebabkan kekuasaan-Nya tidak terbatas sedangkan
kemampuan manusia sangat terbatas. Manusia dalam ketidaksempurnaannya
selalu ingin mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar memperoleh
perlindungan dan petunjuk dalam menempuh kehidupan. Mereka yang memahami
pengertian ini menjadi manusia yang mulia karena senantiasa mengutamakan
ke-Tuhanan dalam tatanan kehidupannya.
Dalam
kehidupan beragama khususnya di Bali, tidak pernah lepas dari adanya suatu
pelaksanaan yadnya. Pelaksanaan yadnya tidak hanya begitu saja dilaksanakan
oleh umat Hindu. Akan tetapi yadnya yang dilaksanakan sesungguhnya memiliki
dasar yang kuat baik yang berupa sabda suci Tuhan maupun ajaran smerti. Yang menjadi pokok dasar
dilaksanakannya yadnya adalah sesuai dengan sastra suci weda yang merupakan
wahyu Tuhan. Adapun weda yang memuat adanya pelaksanaan yadnya adalah pada Rg.weda
X.90 yang kemudian ditegaskan pada kitab upanisad dan diperjelas lagi dalam
Bhagawadgita serta diajarkan dalam beberapa susastra Hindu lainnya.
Pada
Rg.weda X.90 yang memberikan ide pertama dilaksanakannya yadnya menyatakan bahwa
“alam ini ada berdasarkan yadnya-Nya (Maha Purusa), dengan yadnya dewa
memelihara manusia dan dengan yadnya manusia memelihara dewa”. Ini berarti
bahwa yang menjadi dasar adanya alam semesta beserta isinya ini adalah adanya yadnya Tuhan dalam manifestasinya sebagai Maha Purusa.
Selanjutnya para dewa yang merupakan sinar suci dari Tuhan pun memelihara
kehidupan di alam semesta ini dengan yadnya, sehingga dengan demikian manusia
pun harus melaksanakan yadnya untuk memelihara dewa. Adanya hubungan timbal
balik antara manusia dan dewa serta dengan terjaganya saling memelihara ini
akan menciptakan kebahagiaan bagi semua mahluk, seperti apa yang tersurat dalam
Bhagawad gita III.11 yang isinya adalah “saling memelihara satu sama lain
maka manusia akan mencapai kebahagiaan”. Ketika hubungan timbal balik ini
tidak selaras niscaya alam semesta ini akan hancur. Tuhan melingkupi serta
menyusupi semua yang ada, jadi apabila tidak adanya hubungan yang harmonis
dengan Tuhan, sesama manusia dan dengan alam yang notabene adalah bagian dari
kemahakuasaan Tuhan, maka akan menimbulkan kesengsaraan.
Untuk
dapat mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, manusia yang memiliki
keterbatasan membutuhkan sarana sebagai perantara. Untuk dapat menghubungkan diri dengan Ida
Sang Hyang Widhi, maka dibuatkan sebuah pralingga atau pun tempat suci sebagai
sthana Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya. Perwujudaan tempat suci
merupakan sebuah wujud nyata kecintaan umat kepada yang dipujanya yaitu Ida
Sang Hyang Widhi serta sebagai tempat untuk dapat memuja leluhur. Tempat suci
dalam agama Hindu khususnya di Bali disebut dengan Pura. Pura ini pun dapat
dibagi-bagi lagi berdasarkan klasifikasi tertentu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang di atas, adapun yang
menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimana pengelompokan pura di Bali?
1.2.2
Apa yang dimaksud dengan
sanggah/merajan?
1.2.3
Apa dasar dari pembuatan
sanggah/merajan?
1.2.4
Apa fungsi dari Sanggah/Merajan?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1
Untuk mengetahui pengelompokan Pura di
Bali
1.3.2
Untuk mengetahui pengertian
sanggah/merajan.
1.3.3
Untuk mengetahui dasar dari pembuatan
sanggah/merajan.
1.3.4
Untuk mengetahui fungsi dari
sanggah/merajan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengelompokan Pura Sebagai Tempat Suci Agama Hindu
Tentang
pengelompokan pura di Bali, dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek
agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan
pura di Bali sebagai berikut:
a. Berdasarkan
atas fungsinya
Berdasarkan atas fungsinya, pura
dikelompokan menjadi 2 yaitu:
1). Pura Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai
tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawaNya (manifestasinya), dan dapat digunakan oleh umat untuk
melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya
tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
2). Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai
tempat suci untuk memuja Atma Siddha
Dewata (Roh Suci Leluhur), termasuk di dalamnya: sanggah, merajan, (paibon,
kamulan), dadia, dan pedharman.
b. Berdasarkan
atas karakterisasinya
Pengelompokan berdasarkan ciri atau karakterisasinya, yang
antara lain diketahui atas dasar penyiwi atau kelompok masyarakat pemuja.
Penyiwi terkelompok di dalam berbagai jenis ikatan seperti: ikatan sosial,
ekonomi, genealogis (garis keturunan), Ikatan sosial antara lain berdasarkan
ikatan wilayah tempat tinggal (teritorial), ikatan pengakuan jasa seorang guru
suci (Dang Guru). Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan
sistem mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan dan lain-lainnya.
Ikatan genealogis adalah atas dasar garis kelahiran. Berdasarkan atas ciri-ciri
tersebut di atas maka terdapat beberapa kelompok pura di Bali sebagai berikut:
1). Pura Umum atau Pura Kahyangan Jagat
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang
Widhi dengan segala prabawaNya
(Dewa). Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga
sering disebut Kahyangan Jagat. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri
tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur, dan Pura Sad Kahyangan lainnnya.
Pura lainnya, yang tergolong pura umum adalah pura yang
fungsinya sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran atau jasa guru suci
atau Dang Guru. Pura ini dipuja oleh seluruh umat Hindu yang merasa berhutang
jasa kepada Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang telah diberikan. Pura-pura
yang tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan.
2). Pura Kahyangan Desa (Teritorial)
Pura ini mempunyai ciri kesatuan
wilayah sebagai tempat pemujaan suatu desa adat. Ciri khas suatu desa adat pada
dasarnya memiliki tiga buah pura yang disebut Kahyangan Tiga yaitu Pura Desa,
Pura Puseh, dan Pura Dalem. Nama-nama Kahyangan Tiga tampaknya juga bervariasi
seperti pada beberapa desa di Bali, Pura Desa sering disebut Pura Bale Agung,
Pura Puseh sering disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut
Pura Banua.
3). Pura Swagina (Pura Fungsional)
Pura ini memiliki ciri yaitu
penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina
(kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti Pura
Subak, Melanting dan sebagainya.
4). Pura Kawitan
Pura ini memiliki ciri yaitu
pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan
garis (vertical geneologis) seperti:
Sanggah, Merajan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Pedharman dan yang
sejenisnya (http://www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html
diakses pada tanggal 10
Desember 2013 pukul 20.15 Wita).
2.2
Sanggah/Merajan
Dilihat dari segi fungsinya, ada 2 (dua) jenis pura yaitu: sebagai
tempat memuja Hyang Widhi (Dewa Pratistha)
dan sebagai memuja roh suci leluhur (Atma
Pratistha). Ditinjau dari sisi karakternya, pura dibagi lagi menjadi
empat kelompok yaitu: Pura Kahyangan Jagat (Pura Umum), Pura Kahyangan Desa
(Pura Teritorial), Pura Swagina (Pura
Fungsional) dan Pura Kawitan.
Hampir dalam setiap pura atau
pura keluarga (sanggah/pemerajan) di Bali terdapat bangunan suci atau disebut
palinggih. Palinggih merupakan salah satu simbol atau lambang alam semesta yang
oleh umat Hindu diyakini sebagai tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Palinggih merupakan citra Hindu sebagai media untuk mendekatkan diri dengan
Tuhan. Ditinjai dari fungsinya, secara fundamental palinggih (bangunan suci)
tersebut berfungsi sebagai sarana umat Hindu untuk memuja kebesaran Ida Sang
Hyang Widhi beserta manifestasi beliau. Demikian juga, palinggih dapat pula difungsikan sebagai
sarana untuk memuja roh suci leluhur dengan berbagai tingkatannya (Sandika,
2011: 76).
Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh suci leluhur dari
umat Hindu yang memiliki ikatan “wit” atau leluhur berdasarkan garis
keturunannya. Jadi Pura Kawitan bersifat spesifik atau khusus sebagai tempat
pemujaan umat Hindu yang mempunyai ikatan darah sesuai dengan garis
keturunannya. Contoh-contoh pura yang termasuk dalam kelompok Pura Kawitan
antara lain: Sanggah/Merajan, Pura Ibu, Dadia, Pedharman, dan yang sejenisnya.
Pura Panti dan Pura Dadia pada dasarnya berada pada kelompok
dan pengertian yang sama. Artinya apa yang dimaksud dengan Pura Panti dapat
pula disebut dengan Pura Dadia. Sama halnya dengan sebutan sanggah dapat pula
disebut dengan istilah merajan. Yang membedakannya hanyalah terletak pada
jumlah penyiwi atau pemujanya.
Di dalam Lontar Sundarigama bahwa: Bhagawan Manohari, Beliau beraliran
Siwa mendapatkan tugas dari Sri Gondarapati, memelihara dengan baik Sad
Kahyangan kecil, sedang dan besar, sebagai kewajiban semua orang. Setiap 40
pekarangan rumah (keluarga) disabdakan mendirikan panti, adapun setengah dari
jumlah tersebut (20 keluarga) agar mendirikan Palinggih Ibu, kecilnya 10
pekarangan keluarga mendirikan palinggih Pratiwi (Pertiwi) dan setiap keluarga
mendirikan Palinggih Kamulan (sanggah/merajan).
Merajan/Sanggah, apabila dilihat dari segi istilah kedua kata
itu berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu raja yang juga disebut rajan yang secara umum berarti raja,
ialah sebutan atau gelar kepala pemerintahan dari suatu sistem pemerintahan
kerajaan dan merupakan jabatan yang mulia atau dimuliakan. Timbul tradisi dan
kebiasaan bilamana menyebut seorang raja didahului dengan kata penghormatan
seperti misalnya dengan kata yang mulia.
Kata rajan memperoleh awalan ma menjadi merajan yang bermakna tempat memuliakan dan memuja yang dalam hal
ini untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu bapak yang
sudah tiada.
Sedangkan kata sanggah
berasal dari kata sanggar yang secara
harafiah berarti kuil atau sangga dalam kaitan kata anangga yang berarti memegang
tinggi-tinggi juga dapat bermakna menjunjung atau memuja. Jadi, dengan demikian
sanggah berarti tempat suci untuk
menjunjung tinggi atau memuja leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
berbagai prabawa atau manifestasinya
(Soebandi, 2008: 23-24).
Sedangkan
dalam Wikarman (2010: 1), sanggah berasal dari Bahasa Kawi: “Sanggar”, berarti
tempat untuk melakukan kegiatan (pemujaan suci). Sedangkan pemerajan berasal
dari kata “praja” yang berarti masyarakat, turunan, keluarga. Pengater Pa dan
akhiran an mengacu pada tempat pemujaan keluarga atau turunan.
Berdasarkan atas
pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sanggah/merajan adalah tempat
suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama ibu dan bapak
yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi masyarakat Hindu di
Bali.
Merajan/Sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah
sebuah tempat suci yang berdasarkan konsep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri
Hita Karana. Sanggah merupakan tempat untuk memuja Tuhan dan juga leluhur.
Dasar Tri Angga, Merajan adalah sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala
manusia. Genah madyanya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia,
nista angganya adalah perkebunan atau pekarangan seperti anggota badan itu
sendiri (Anom, 2009, 1-2).
Menurut bentuknya, Sanggah/Merajan ada tiga versi yaitu:
a. Yang
dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan.
Sanggah/merajan yang mengikuti konsep Mpu Kuturan menggunakan
konsep Tri Murti sehingga pelinggih yang letaknya di “hulu” (kaja-kangin) adalah
palinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu,), tidak mempunyai pelinggih
Padmasana/Padmasari.
b. Yang
dibangun mengikuti konsep Dang Hyang Nirartha
Sanggah/merajan yang mengikuti konsep Dang Hyang Nirartha
menggunakan konsep Tri Purusa sehingga pelinggih yang letaknya di “hulu”
(kaja-kangin) adalah Padmasana/padmasari, sedangkan pelinggih kemulan tidak
berada di Utama Mandala.
c. Yang
dibangun mengikuti kombinasi keduanya
Sanggah/merajan yang menggunakan kombinasi dari Mpu Kuturan
dan Dang Hyang Nirartha biasanya dibangun setelah abad ke-13, maka ada pelinggih
Padmasana/Padmasari, namun di sebelahnya ada pelinggih kemulan.
(http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm
diakses pada tanggal 10 Desember 2013 pukul 20.20 Wita).
Pelinggih utama yang
terdapat dalam sanggah/merajan adalah kemulan. Menurut Lontar
Kuturan yang memuat pewarah Mpu Kuturan, sanggah pamerajan bagi keluarga kecil
adalah: kemulan rong tiga, taksu, dan pangerurah. Bangunan
palinggih yang dimaksud adalah:
a.
Palinggih Kamulan.
Palinggih (bangunan
suci) yang berbentuk Rong Tiga (Rong Telu) yang kini lebih dikenal dengan
sebutan Kamulan umumnya ditempatkan di bagian Timur dan menghadap ke Barat
dalam sebuah merajan. Hal ini disebabkan pada palinggih inilah dihormatinya dan
dimuliakannya dan dipujanya arwah suci nenek moyang atau leluhur oleh prati
sentana (keturunan). Nenek moyang atau leluhur adalah merupakan cikal bakal
yang dihormati serta dimuliakan dan dipuja pada palinggih rong tiga atau
kamulan yang letaknya pada bagian timur pada merajan atau sanggah. Kata Timur
berarti Kangin yang di dalam bahasa Kawi disebut Purwa, dan kata Purwa juga
berarti awal atau permulaan, sebab itu palinggih (bangunan suci) ini
ditempatkan di timur (purwa) sebagai perlambang cikal bakal atau pemula dri
prati sentana (Soebandi, 2008: 58).
b.
Palinggih taksu
Palinggih Taksu
berbentuk seperti gedong yang bentuknya ada 2 macam, yaitu: taksu yang
berbentuk gedong bertiang empat (saka pat) beruang dua, dan bentuk taksu yang
memiliki tiang pendek (saka tunggal), namun saka pendek ini sudah memberikan
arti dua ruangan. Taksu merupakan sebuah palinggih yang merupakan sthana untuk
memuja Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya dengan swabhawanya sebagai Sang
Hyang Butha Kala Raja sebagai Sedahan Taksu. Taksu sesungguhnya adalah kekuatan
magis dari Sang Hyang Widhi, dimana kekuatan tersebut merupakan kekuatan
gravitasi dan kekuatan tersebut menyatu dengan kekuatan magis manusia serta
membangkitkan kekuatan manusia, sehingga manusia memiliki kharisma, kekuatan
yang menarik dan kemampuan spiritual sesuai dengan profesinya (Suhardana, 1998:
63-64).
c.
Palinggih Ratu Ngurah (Panglurah)
Bhatara Ngelurah atau
disebut juga panglurah biasanya memiliki 2 macam bentuk, yaitu: ada yang
memakai bentuk tepas sari (seperti gedong) dan ada pula yang memiliki bentuk
tepasan (tidak beratap). Pengelurah asal katanya lurah yang artinya pembantu (pepatih), mendapat awalan pe dan sisipan ng, menjadi kata kerja, jadi pengelurah
artinya bertugas menjadi pembantunya para dewa atau dewata (menjadi patihnya)
pada setiap pura atau pamerajan. Pangelurah merupakan sthana untuk manifestasi
Sang Hyang Widhi dalam swabhawanya “Butha Dewa” yang maksudnya setengah dewa
setengah butha, termasuk kelompok Gandharwa. Beliau memiliki fungsi sebagai
penjaga para dewa atau dewata, disamping itu sebagai juru bicara atau sebagai
katalisator antara Dewa atau Dewata dengan manusia sebagai umatnya.
Setelah kedatangan
Danghyang Nirartha ke Bali di abad ke-15, diperkenalkan konsep Tripurusa dengan
mewujudkan palinggih Padmasari atau padmasana. Sejak itu maka sanggah pamerajan
dilengkapi dengan padmasari. Palinggih yang terdapat di sanggah/merajan alit
umumnya adalah Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu. Sedangkan dalam
sanggah/merajan dadia umumnya padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Sari, Limas
Catu, Manjangan Sakaluang, Pangrurah, Sapta Petala, Taksu, Raja Dewata. Dalam
Sanggah/merajan Panti palinggih yang ada adalah pelinggih yang ada dalam
sanggah/merajan Dadia ditambah dengan
meru atau gedong palinggih Bhatara Kawitan (http://stitidharma.org/sanggah-alit/
diakses pada tanggal 8 November 2013 pukul 15.55 Wita).
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi
seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih
wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di
masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura
lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dan lain-lain,
maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari. (http://stitidharma.org/sanggah-alit/
diakses pada tanggal 8 November 2013 pukul 15.55 Wita).
2.3
Dasar Pembuatan Sanggah/Merajan
Seperti yang diuraikan
di atas, tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur
terutama ibu dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka)
bagi masyarakat Hindu di Bali disebut dengan merajan atau sanggah. Pembuatan
sanggah/merajan tidak sekedar hanya hiasan belaka, namun didasari atas landasan
sastra yang menaunginya. Landasan sastra dalam membangun sanggah atau merajan
banyak terdapat dalam kitab suci, seperti dalam Bhagavad Gita yang menyebutkan:
“Samkaro
narakayaiva
kulaghnanam
kulasya ca
pantati
pitaro hy esam
lupta-pindodaka-kriyah”.
(Bhagavad Gita I. 42)
Terjemahan:
Keruntuhan
moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh
(ke neraka), semua terpana, air dan nasi tidak ada lagi baginya. (Pudja, 2005:
26).
Penjelasan dari arti sloka diatas: bahwa jika keluarga sudah
hancur, maka kewajiban keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi,
seperti upacara sradha, dimana dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek
moyang di pitra loka (tempat arwah
mereka segera sesudah meninggal sebelum mencapai surga) dengan mempersembahkan
sesajen yang terdiri dari makanan, buah-buahan dan lain-lain. Ini berarti
bahwasanya adanya tempat suci untuk memuja leluhur sangat diperlukan untuk
dapat memuja serta memuliakan arwah leluhur yang akan dan telah disucikan.
Sedangkan di dalam lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain
disebutkan: yan tan semangkana tan tutug pali-pali sang dewapitra manaken
sira gawang tan molih ungguhan, tan hana pasenetanya.
Terjemahan: bilamana belum
dilaksanakan demikian (belum dibuatkan tempat suci) belumlah selesai upacara
yang dewa pitra (leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat
tinggalnya. Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan : apan sang
dewapitranya salawase tan hana jeneknya. Terjemahan: oleh karena sang
dewa pitara (leluhur) tidak ada tempat menetapnya, dapat dijelaskan bahwa
upacara ngunggahang dewa pitara (leluhur) adalah untuk menetapkan stana
sementara dari dewa pitara (leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis,
bahwa dewa piatra telah mempunyai sthana tempat yang setara dengan dewa.
Begitu pula
dijelaskan dalam Lontar Nagarakerthagama yang menyebutkan:
ngka
tang nusantarane Balya matemahan secara ring javabhumi,
dharma
mwang kramalawan kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah.
Adapun maksudnya kurang lebihnya menyebutkan bahwa apa yang diterapkan di Bali persis
mengikuti keadaan di Jawa terutama berkaitan dengan bentuk bangunan candi,
pasraman dan pesanggrahan atau rumah. Yang disebut candi tidak lain adalah
parahyangan untuk memuja leluhur.
Di dalam Lontar Ciwagama diuraikan tentang ketentuan
mendirikan pelinggih (bangunan suci) yang disebut ibu dan panti. Yang dimaksud
dengan pelinggih di dalam lontar ini adalah tempat suci untuk memuliakan dan
memuja arwah leluhur, di Bali ini disebut merajan/sanggah. Bagi masyarakat
Hindu di Bali merajan tidak saja sebagai tempat memuja leluhur tapi juga
sebagai tempat untuk memuliakan dan memuja Hyang Widhi dengan segala prabawaNya.
(http://paduarsana.com/tag/sanggah/
diakses pada tanggal 09 Desember 2013 pukul 18.18 Wita).
Begitu pula dijelaskan dalam Lontar Loka Pala yang
menguraikan:
“…………….. seperti manusia yang sudah lupa dengan
saya, Sayalah yang menyebabkan ada
mereka, saya tiada lain adalah Sang Hyang Guru Reka, yang mengadakan seluruh
isi jagat raya. Sayalah yang dipuja dengan sebutan Dewa Hyang Kawitan yang
beraga Sang Hyang Uma Kala, dan saya jugalah yang dipuja dengan Brahma, Wisnu,
dan Siwa. Ingatlah semuanya. Menjadi satu dalam Rong Tiga, dan sayalah yang
mencipta, saya memelihara dan saya jugalah yang melebur ……………….”
Kutipan di atas,
apabila dipahami, maka berbhakti kepada leluhur melalui merajan dengan rong
tiga adalah sebuah keharusan agar kita memperoleh keselamatan dan terhindar
dari mara bahaya (Anom, 2009: 5-6).
Berdasarkan atas
beberapa sumber lontar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembuatan merajan
tidak hanya sebatas asal buat saja oleh manusia, melainkan atas rujukan
beberapaa sastra seperti yang diuraikan di atas. Hai ini disebabkan merajan
adalah sebuah tempat suci untuk memuja kebesaran Tuhan Yang Maha Esa dan juga
para leluhur, beserta Tri Murthi. Seluruhnya adalah sebuah kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, dan merupakan sebuah upaya manusia untuk
menuju keadan yang sejahtera.
2.4
Fungsi Pura
dan Sanggah/Merajan
Selain sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura
dan Sanggah Pamrajan berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu:
a.
Pemelihara
persatuan; di saat Odalan, semua warga dan sanak keluarga berkumpul saling
melepas rindu karena bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu namun merasa
dekat di hati karena masih dalam satu garis keturunan.
b.
Pemelihara
dan pembina kebudayaan; di saat Odalan dipentaskan tari-tarian sakral,
kidung-kidung pemujaan Dewa, tabuh gambelan, wayang, dan lain-lain.
c.
Pendorong
pengembangan pendidikan di bidang agama, adat, dan etika/susila; ketika mempersiapkan Upacara Odalan, ada kegiatan
gotong royong membuat tetaring, menghias palinggih, majejahitan, mebat, dan lain-lain.
d.
Pengembangan
kemampuan berorganisasi; membentuk panitia pemugaran, panitia piodalan, dan
lain-lain.
e.
Pendorong
kegiatan sosial; dengan mengumpulkan dana punia untuk tujuan sosial baik bagi
membantu anggota keluarga sendiri, maupun orang lain.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berdasarkan atas pembahsan di atas, maka
dapat disimpulkan:
3.1.1 Pengelompokan
Pura di Bali terbagi atas dua kriteria. Berdasarkan atas fungsinya maka pura di
Bali dikelompokkan menjadi 2 yaitu Pura Jagat dan Pura Kawitan. Berdasarkan
atas karakterisasinya, pura dibagi menjadi 4 yaitu Pura Umum (Pura Kahyangan
Jagat), Pura Kahyangan Desa (Pura Teritorial), Pura Swagina (Pura Fungsional),
dan Pura Kawitan.
3.1.2 Sanggah/Merajan
adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur terutama
ibu dan bapak yang sudah tiada dan berada di alam baka (sunia loka) bagi
masyarakat Hindu di Bali. Berdasarkan bentuknya, sanggah/merajan ada yang dibangun
berdasarkan konsep Mpu Kuturan, ada yang berdasarkan konsep Dang Hyang
Nirartha, serta ada pula yang menggunakan kombinasi keduanya. Pelinggih utama
yang ada dalam sanggah/merajan alit adalah kemulan, taksu dan panglurah. Setelah
kedatangan Dang Hyang Nirartha, maka dikenalkan dengan konsep
Padmasna/Padmasari.
3.1.3 Dasar Pembuatan
Sanggah/Merajan dilihat dari berbagai sumber yang menyebutkan tentang
pentingnya mendirikan sanggah/merajan. Adapun sumber-sumber yang menjelaskan
tentang pentingnya mendirikan sanggah /merajan terdapat dalam kitab suci
Bhagavad Gita, serta lontar-lontar seperti lontar Purwa Bhumi Kamulan,
Ciwagama, Nagara Kerthagama, dan Lontar Loka
Pala.
3.1.4
Selain
sebagai tempat suci untuk bersembahyang, fungsi Pura dan Sanggah Pamrajan
berkembang menjadi beberapa fungsi ikutan, yaitu sebagai pemelihara persatuan,
pemelihara dan pembina kebudayaan, pendorong pengembangan pendidikan di bidang
agama, adat, dan etika/susila, pengembangan kemampuan berorganisasi serta
sebagai pendorong kegiatan sosial;
3.2
Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan guna penyempurnaan penyusunan makalah
selanjutnya.
Sukses mbok luh as
BalasHapus